Friday, August 9, 2013



#Day 2

Sebenarnya bukan suatu hal yang cukup istimewa pagi ini, selain hari ini adalah hari raya umat muslim. Semua berjalan sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Pukul 6 pagi aku sudah berada di depan pintu dengan sebuah tas berisi kamera, sebungkus roti, sebotol air mineral dan selembar sajadah. Hari ini aku berniat untuk melaksanakan shalat Ied di Alun-Alun Utara tepat di depan Kraton yang nantinya akan lanjut menyaksikan upacara Grebeg Syawal. Untuk pertama kali setelah bertahun tahun tidak menyaksikan upacara tersebut, aku cukup menantikan hari ini.




Pukul 8 selepas shalat Ied, seperti biasa lapangan alun-alun akan berubah menjadi lautan koran yang menjadi  tambang emas bagi para pengepul sampah kertas.

Sambil menunggu upacara Grebek Syawal mulai aku mencari warung untuk mengisi perutku yang sudah mulai meronta.








Ketika hendak menuju warung, kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang teman semasa kuliah dulu. Danu namanya. Kawan yang satu ini, sebenarnya aku tidak pernah benar-benar tahu ia berasal dari mana. Ketika pertama kali bertemu dengannya pun terjadi begitu saja. Tiba-tiba saja ia sering datang ke Sarkem (Sanggar Kreativitas Mahasiswa - sebuah ruang berkarya untuk mahasiswa Fakultas Seni dan Bahasa di UNY) untuk ikut berproses teater dengan kawan-kawan lainnya. Dan, aku terlalu malas untuk bertanya lebih dalam lagi tentang dirinya. Apalah arti sebuah nama, dan apalah arti asal muasal.

"Kowe ra bali omah po, Nu?"
"Mengko sore"
"Nengdi"
"Suroboyo"
"Wis entuk tiket?"
"Urung"
"Lha??"
"Wis, gampang"

Jadi, di situ mngkin asal muasal dirinya berada. Aku mengajaknya untuk sarapan di sebuah warung kecil di pinggir Alun-alun. Warung itu cukup kecil, namun sudah cukup ramai disinggahi oleh para tukang becak, parkir dan warga sekitar yang hendak sarapan pagi.

Seorang bapak-bapak, berprofesi sebagai tukang becak datang kemudian memesan makanan, sepiring nasi dengan sayur dan telur. Beberapa saat kemudian bapak itu telah selesai menghabiskan santapannya kemudian mengeluarkan uang sebesar Rp.3000 dan diberikannya kepada ibu itu. Aku tertegun. Rp.3000?? dan ibu itu menerimanya tanpa protes sedikitpun. Sepertinya dia maklum sebab bapak itu hanyalah seorang tukang becak. Ya Tuhan, masukan ia ke surga kelak, batinku.

Sekitar pukul 9 kami bersiap-siap untuk masuk ke dalam kawasan Keraton. Sesampainya di sana sudah banyak warga dan wisatawan asing menunggu prosesesi para Abdi dalem juga sibuk mempersiapkan prajurit-prajurit keraton untuk mengantarkan Gunungan.

Tujuh Gunungan terdiri dari tiga Gunungan Lanang (Putra), tiga Gunungan Estri (Putri) serta satu Gunungan Awohan (Buah) akan dihantarkan dari Bangsal Ponconiti Keraton Jogjakarta menuju Masjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman dan Kepatihan. Gunungan berupa hasil bumi ini  merupakan sedekah dari Raja Keraton untuk rakyatnya.

Ngomong-ngomong, ketika memperhatikan para prajurit keraton yang bertugas, terdapat para prajurit yang umurnya relatif muda. Kemudian aku teringat sebuah cerita tentang para Abdi dalem bagaimana mereka menjadi Abdi Dalem yang hanya digaji sebesar 3000 rupiah (beberapa tahun yang lalu). Aku penasaran apa motivasi mereka menjadi seorang Abdi Dalem di jaman seperti sekarang ini. Melestarikan tradisi? bukti kesetiaan terhadap rajanya? sedang di luar keraton orang-orang sibuk berlomba untuk mencari harta sebanyak banyaknya apapun caranya. Apa konsep kebahagiaan bagi para pemuda ini? apapun alasannya hal itu membuatku jadi berpikir tentang apa sebenarnya aku cari dalam hidup. Yang jelas aku beruntung bisa menjadi warga di kota yang masih begitu kuat menjaga tradisinya, diantara semakin banyak budaya asing yang datang.


Grebeg dilepas dengan iringan Salvo kemudian ketujuh gunungan tersebut dibagi, diantarkan menuju ke tiga tempat yang berbeda. Aku memilih untuk menyaksikan penyerahan Gunungan di Masjid Gedhe Kauman.

Setelah didoakan, 5 Gunungan kemudian diperebutkan oleh para warga masyarakat yang sudah menunggu dari tadi pagi. Seorang lelaki yang berada di puncak Gunungan, mencabut-cabut makanan-makanan hasil bumi itu. Dia tidak menyimpannya sendiri, namun dibagi-bagikannya kepada orang-orang di bawahnya yang saling berdesak-desakan berusaha menggapai Gunungan. Dan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya, gunungan tersebut ludes.



"Bu, dapat apa saja?" aku bertanya pada seorang ibu yang tadi ikut berebutan.
"Saya dapat kacang panjang ini" Jawabnya dengan senyum puas
"Itu nanti buat apa, Bu?"
"Saya dapat ini mudah-mudahan juga mendapat berkah nantinya"
"Ini saya cuma sekedar menjalankan tradisi kok mas. Saya seneng mas" Ujar salah seorang ibu lainnya.
"Itu nanti ditaruh dimana?"
"Ada yang buat dimakan, ada yang nanti ditanam di sawah biar jadi berkah sama buat nolak bala mas"
"Gunungan ini kan hasil bumi mas, nah kalo ditanam di sawah, nantinya mudah-mudahan akan membawa berkah sehingga sawahnya panen terus, hasilnya baik" Ujar seorang bapak menimpali
"Aminnn"
"Dulu ada tetangga saya mas, ayamnya suka sakit-sakitan. nah pas mendapatkan gunungan ini ayamnya lalu sembuh dan gak sakit lagi"
"Ada satu lagi mas" tambahnya
"Apa itu?"
"Lihat" kemudian bapak itu memperlihatkan hasil tangkapannya. 
"Inikan warnanya beda-beda, itu melambangkan negeri kita yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa"
"Lalu ini ada ikatan dari daun pisang ini menandakan pemersatu dari perbedaan-perbedaan itu"
"Bhineka Tunggal Ika gitulah intinya" Ujarnya lagi sambil tertawa bangga.
"Oooohhhhh yayayaya"


Hari ini aku melihat keceriaan dan kesetiaan yang diperlihatkan warga, prajurit-prajurit dan para abdi dalem terhadap Rajanya. Panas yang cukup terik bukan penghalang bagi mereka untuk saling berbagi dan berpesta dengan semangat secerah matahari hari itu. 

Jogjakarta, 8 Agustus 2013


2 comments: