Sunday, August 18, 2013


"Mbiyen bapakmu uwis tekan endi-endi le. Bapakmu mbiyen seneng munggah gunung" 
"Wis tau ngerasake suka dukane neng nduwur kono"
("Dulu bapakmu ini udah sampe kemana-mana. Bapakmu dulu suka mendaki gunung")
("Udah pernah ngerasain suka duka di atas gunung")
Seorang teman berseloroh tentang bagaimana dia akan dengan bangga bercerita pada anaknya kelak bahwa pada masa mudanya dia senang mendaki gunung.
"Nek aku, yo mung mingin-mingini wong liyo nek aku munggah. Kan aku moto-moto pemandangan sing apik tenan (Kalau aku, ya cuma bikin iri orang lain. Akukan motret pemandangan yang bagus banget)", kata temanku yang satunya.



Sehari sebelum kami berangkat mendaki, aku diberikan sebuah pertanyaan sederhana tentang apa alasanku mendaki gunung? Kenapa banyak sekali orang-orang rela bersusah payah mendaki gunung yang terjal, belum lagi badai, hujan yang bisa datang sewaktu-waktu di atas nanti. Untuk yang baru pertama kali melakukannya mungkin akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Ketika sampai di puncak, kita akan disajikan sebuah pemandangan yang sangat luar biasa, membuat setiap orang yang melihatnya tertegun dengan apa yang diberikan Tuhan untuk manusianya.

Namun, ketika sudah berkali-kali melakukannya, apakah tidak bosan melihatnya? Sunrise misalnya, bukankan begitu-begitu saja? Atau pemandangan gunung juga padang Edelweise?

Ternyata tidak. Setiap gunung, mempunyai tingkat kesulitan dan keindahan yang berbeda satu sama lain. Selain itu, juga banyak hal yang bisa didapat dari kegiatan mendaki ini. Seseorang bisa belajar tentang tanggung jawab, keberanian juga dapat mengenal diri sendiri juga lingkungan. Tanggap, berpikir cepat jika terjadi sesuatu. Bekerja sama, saling mengerti dan menghargai sesama pendaki. Menumbuhkan rasa bersyukur yang luar biasa kepada Tuhan, bagaimana aku merasa begitu kecilnya di hadapan-Nya. Dan lagi, rasa bangga yang luar biasa, bisa lahir di negeri yang luar biasa indah ini.

---

Sekitar pukul 12 siang, dua orang makhluk yang ditunggu-tunggu sedari tadi akhirnya datang juga. Awalnya aku berharap kita bisa berangkat pagi-pagi sekali, jadi kita akan sampai di atas sore hari. Namun, orang-orang seperti teman-temanku ini rasanya sulit untuk bangun pagi.

Setelah mengecek bawaan kemudian kami bersiap-siap untuk berangkat. Ini adalah pendakian Merbabu untuk kedua kalinya. Sekitar setahun lalu kami berenam, kali ini kami hanya berempat. Aku, Adnan, Pondra dan Latief berangkat dengan mengendarai sepeda motor.

Setelah melalui Muntilan, kami berbelok ke arah Utara menuju Ketep. Sekitar 1,5 jam kami sampai di salah satu warung yang biasa kami gunakan untuk beristirahat dan membeli nasi lauk untuk bekal di atas nanti, kemudian perjalanan kami lanjutkan menuju base camp para pendaki.

Setelah melewati jalan yang cukup menyulitkan, akhirnya kami sampai di base camp. Sudah ada beberapa kelompok yang ternyata baru saja turun dari puncak. Ada yang berasal dari Solo ada juga beberapa pemuda-pemudi dari Bekasi yang rencananya mereka akan lanjut mendaki Gunung Merapi. Dan tepat pukul 3 sore, setelah beristirahat dan melapor kepada petugas di base camp kami berangkat memulai pendakian.

Dan inilah ringkasan visual diary pendakian kali ini.


Total sekitar 6 jam kami sampai di tempat tujuan kami. Pukul 9 malam kami sampai di Sabana 1. Dari awal kami memang tidak berniat sampai ke puncak. Pendakian kali ini hanyalah pendakian senang-senang, disamping kondisi Adnan yang tidak cukup fit. 

Hujan mulai turun ketika tenda kami terbentang. Segera kami mengemas barang-barang bawaan kami masuk ke dalam tenda. Setelah bahan makanan untuk besok pagi kami kumpulkan menjadi satu, kami makan malam bersama dengan bekal yang kami beli tadi sore. 
Dingin mulai mencengkram kami, Latief berinisiatif membuatkan kami segelas kopi panas. Lalu, sepenggal sajak sederhana melintas di kepalaku. 

Jika saja boleh, nanti kubawakan lelah, peluh dan tiap gigil ini padamu
Mungkin kau akan tahu betapa aku merindu peluk dan senyum hangat
secangkir kopi yang tak pernah lupa yang kau seduh untukku.

Diselimuti hujan dan malam, kami pun tertidur. Berkali-kali aku terbangun ditengah-tengah gelap dan dingin. Sampai saat kuintip pintu tenda, secercah cahaya merah merona melintang di ujung salah satu sudut langit menandakan pagi tiba. 

Segera saja aku bergegas keluar tenda, sambil menahan gigil aku mencari posisi terbaik untuk melihat matahari terbit. 


Mungkin karena ini adalah pendakian kedua kalinya, aku merasa pendakian kali ini tidak sesulit tahun lalu. Dan sajak Soe Hok Gie ini mungkin dapat mewakili alasanku kenapa aku suka mendaki gunung.

Mandalawangi-Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun
kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam rimbamu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara
tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keberadaan tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan
menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali
dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimah, dan hadapilah”

dan diantara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
aku terima semua
melampaui batas-batas hutanmu
melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango

karena aku cinta pada keberanian hidup

*untuk melihat pendakian pertama bisa dilihat di sini: link

1 comment: