Monday, April 16, 2012


"Posisi dimana? saya baru pulang" Anzi mengirimkan sebuah pesan singkat ke dalam inbox telepon genggamku.
"Aku di Nyabu mboton, Zi"
"Mboton? Tapi aku ketemu sebentar yah. Aku sama temanku, mau debat sekalian soalnya"
"Okelah, yang penting ketemu deh"
"Owalah, aku pakai baju sekolah, lho"
"Gakpapa"
"Ela..Aku gak bawa apa-apa buat mas lho"
"Gak penting, hahaha"
"Tunggu yah, mas"
"Oke"

Hari itu, Aku, Adnan dan Aji menyambangi kota yang keberadaannya tidak begitu jauh dari Jogja, Magelang. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di kota kecil ini. Kami bertiga berada di sana guna mengunjungi sebuah toko buku bekas di salah satu sudut kota itu. Suatu hari aku melihat blognya si Anzi, aku menemukan selembar postingan tentang toko buku tersebut. Waktu itu dia mendapatkan sebuah buku tua tentang Perang Dunia 1  yang masih digunakan siswa SMA pada tahun 1950-an. 

Setelah berkeliling, bertanya dari satu orang ke orang yang lain, akhirnya saya bertanya pada seorang ibu.
"Bu, nuwun perso, kulo ajeng tanglet"
"Tanglet nopo, mas?"
"Nek, toko buku bekas sing jenenge Nyabu niku, pundi nggih?"
"Ohhh, cedak mriku lho mas. Niku mengkeh wonten SD. Lak sebelah e niku wonten toko buku bekas. Cilik mas"
"Hoooo, nggih bu. Matur suwun nggih, Bu"



Toko itu berada di sudut gang kecil di pinggir jalur utama menuju Semarang. Toko buku itu tidaklah sebesar sebuah rental komik yang sering ditemui di Jogja. Masuk ke dalam toko buku bekas itu, aku seperti di dalam sebuah museum. Bau kertas-kertas tua, sebuah lagu diputar dari sebuah radio tua di salah satu sudut ruangan.

"Niki pinten mbak?" tanya Aji, sambil menunjukan sebuah majalah fotografi tua.
"Itu 3000, mas"
"Sikat!"

Banyak buku-buku menarik yang bisa ditemui di dalam toko buku ini. Dari majalah-majalah tahun 60-an, kamus bahasa cina yang eksotik, rak berisi novel-novel silat,  buku-buku karangan Mira W, Arswendo, Seno Gumira, Tagore, buku perjalanan Karl May dan masih banyak lagi. Harga buku-buku tersebut berkisar antara 5 ribu - 15 ribu. Langsung saja siang itu tiba-tiba kehilangan panasnya, kami semua tenggelam dalam nostalgia dan takjub dengan apa yang kami temukan. Ini baru sebagian saja buku-buku yang kami temukan. Toko buku ini memiliki cabang di tempat lain tapi masih dalam satu kota Magelang. Kata Anzi ruangannya lebih besar, dan mungkin koleksinya lebih banyak. Tapi sayang kami tidak bisa mengunjunginya kali ini, sebab aku harus kembali ke Jogja sekitar 2 jam lagi.


Di sela penelusuran kami, kemudian Anzi datang. Hari itu adalah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan bocah ajaib ini. Anzi Nadila, seorang gadis muda belia penuh bakat ini datang tidak dengan baju sekolahnya dana bersama dua orang teman sekolahnya.

"Disuruh ganti baju sama ibu tadi" katanya. Dan Anzi tidaklah "seramai" seperti yang kukenal di dunia maya. Dia terlihat seperti gadis belia biasanya, cukup pemalu. Maklum ini pertemuan kali pertama dengan kami. 


Setelah berbincang kemudian foto bersama, kami berpisah. Anzi dan teman-temannya pergi latihan debat, kami bertiga melanjutkan perjalanan kami ke sebuah pasar loak di tengah kota kecil itu. Dengan harapan menemukan barang-barang menarik, kami terjang panas matahari yang siang itu benar-benar membara.

Dan apa yang kami dapatkan?
Dua buah album tua, lengkap dengan foto-foto portrait orang-orang yang tentunya tidak kami kenal. Dua album itu kami beli dengan harga 15ribu, ditambah beberapa lembar surat-surat kuno.

"Ayo nyetreet sebentar" kata Adnan, yang tanpa banyak kata kami pun menyetujuinya. Lalu berjalanlah kami menelusuri pedestrian di sekitar daerah pecinan sebelah alun-alun kota.






Panas semakin membakar, dahaga mengorek tenggorokan kami yang perlahan mengering. Kami berhenti pada sebuah gerobak, membeli segelas teh dan selembar istirahat. Merokok sambil memperhatikan suasan sekitar, merekamnya atau hanya mengacuhkannya. Sekitar pukul setengah satu kami memutuskan untuk kembali ke Jogjakarta. Namun, ketika kami hendak mengambil motor kami di parkiran dan melaju kembali ke Jogja, tiba-tiba seorang bapak bertanya pada saya.

"Mas, bawa kamera kayak gitu mau buat apa mas?" tanya bapak itu, sambil mengibas-kibaskan topinya  berharap hawa panas berkurang. 
"Cuma motret-motret aja kok, Pak" jawabku
"Saya punya banyak, mas"
"Masnya mau lihat tidak?"
"Apa pak?"
"Kamera kayak yang mas bawa itu"
"Kameranya di mana, pak?" tanyaku
"Ada di rumah saya"
"Kalau mas-masnya punya waktu, mari datang berkunjung ke rumah saya"
Tidak ada salahnya melihat-lihat pikirku. Maka kami pun pergi menuju rumah bapak yang mengaku bernama Joko itu.

"Saya dulu juga suka mainan kamera mas"
"Nah, melihat anak muda yang suka mainan kamera kayak mas-masnya ini, jiwa saya jadi muncul lagi, mas"

Rumahnya ternyata cukup jauh dan melewati banyak persimpangan, dari pasar loak tadi. Setelah sekitar setengah jam akhirnya kami sampai di kediamannya, Pak Joko menyuguhkan kami segelas kopi panas. Kemudian segera ia memperlihatkan "koleksi" dagangannya.

Sebuah kamera Ricoh GX-1, kamera Yashica yang aku lupa serinya, lalu ada Canonnet, lalu sebuah kamera yang aku lupa merknya, sepasang sarung tinju, beberapa tas kulit, frame kacamata, sebuah bolpoint, dan keris.

"Ini mas, kayu cendana asli, mas"
"Wanginya ndak ilang-ilang ini mas" ujar pak Joko sambil memperlihatkan kerisnya. Entah apakah karena hidungku yang sedang bermasalah, tapi aku tidak mencium wangi apapun saat itu.  


Setelah memeriksa semua "koleksi" pak Joko, dan semuanya tidak terawat dengan baik, kami memutuskan untuk tidak membeli apa-apa darinya. Tapi kami telah menjadi teman baik seperti yang pak Joko bilang pada kami.
"Gak jadi beli gak papa mas, Saya menganggap kalian tamu saya. Jadi saya mendapat pahala dari Gusti Allah" begitulah kira-kira katanya.

Jam menunjuk pada pukul setengah 2. kami pun meminta pamit pulang. 
Yak, kota kecil ini masih meminta kami untuk ditelusuri. Dan tentu saja kami akan kembali lagi. Mungkin dengan jumlah sangu dan waktu yang lebih banyak. 

Sampai jumpa



2 comments: