Monday, December 12, 2016

Bioskop Senen

"Eh kapan-kapan cobain nonton di bioskop itu yuk" Suatu hari entah beberapa tahun yang lalu, saat aku dan kawanku melintas perempatan besar pasar senen.
"Males ah, serem tauk"
"Tempat nongkrong gay"

"Wah, lu pernah ke sana?"
"Hmmm...belum sih"

Kabar berbau amis selalu menjadi jawaban ketika aku beranjak penasaran dengan keberadaan bioskop tua yang tidak pernah terlewat perhatianku saat berada di shelter Transjakarta Pasar Senen. Rasa penasaran selalu hinggap, bioskop itu belumlah berhenti beroperasi, pikirku. Hal itu kusimpulkan dari melihat baliho-baliho besar di bagian depan bioskop cukup up date walau hanya menampilkan film-film lokal. Tapi barulah kutahu kalau ternyata film yang terpampang di baliho besar itu bukanlah film yang akan diputar di dalam bioskop tersebut. Karena memang gedung itu sangat strategis, banyak film-film lokal baru menggunakannya untuk promosi mereka.

Kalau diingat-ingat, sampai saat ini sudah beberapa kali aku mencoba menonton di bioskop-bioskop tua. Tapi masih selalu penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. Aku jadi teringat sebuah peristiwa masa kecil. Suatu hari, bersama beberapa teman main ke pertokoan Rama Plaza. Biasanya kami bermain Tamiya atau Dingdong di pertokoan itu. Tapi hari itu kami tergoda untuk masuk menonton film di bioskop yang letaknya di belakang pertokoan.

"Girl from Beijing" aku masih ingat sekali judul film hong kong yang kita tonton waktu itu. Film itu bercerita tentang seorang gadis yang mengalami pelecehan seksual oleh pamannya kemudian lari lalu terjun dan menjadi bintang dalam dunia prostitusi. 

Satu hal yang membekas saat itu adalah ketika seorang lelaki tua mendatangi kursi kami kemudian memperlihatkan penisnya. Tentu saja kami lari dan sejak kejadian itu tidak pernah lagi berniat untuk mencoba menonton bahkan sekedar mendekati bioskop itu sekali pun.

Akan tetapi, saat mengambil studi di Jogjakarta, aku kembali mendapatkan pengalaman menonton di bioskop tua di bioskop Permata. Bioskop Permata yang terletak tak jauh dari jembatan Sayidan itu pernah juga digunakan untuk acara-acara diluar pemutaran film seperti konser musik atau menjadi gedung pertemuan. Salah satu yang membuatku senang dengan bioskop itu adalah mural besar yang ada di salah satu sisi tembok yang menghadap ke jalan. Mural itu saat ini sudah pudar, sedang bioskop permata sudah benar-benar berhenti, mungkin sudah terjual.


Bioskop Senen 2

Sekitar pukul setengah sebelas aku sampai di kawasan pasar senen. Setelah memarkirkan motorku, mengisi perut, aku berjalan menuju meeting point untuk bertemu dengan kawan-kawan yang lain. Dari jauh aku bisa melihat Oki yang sedang sibuk menerima telepon, mungkin dari orang yang sudah konfirmasi datang hari ini.

Okinawan, kawanku yang satu ini menjadi semakin tertarik dengan bioskop-bioskop tua saat menggarap sebuah film dokumenternya yang bertajuk Oude Bioscoop. Sebuah film tentang keberadaan dan kehidupan bioskop-bioskop yang pernah jaya pada masanya di beberapa kota.

Sekitar 3-4 bulan lalu seelah sekian lama tidak berjumpa, kami bertemu di sebuah restoran jepang di sekitaran Blok M. Oki mengajakku untuk ikut serta dalam project nostalgia berwisata bioskop-bioskop tua yang sedang ia jalankan bersama dua kawannya, Ganjar dan Anggun. Dan hari ini, adalah episode kedua dari project yang mereka namakan Wisata Ria itu. 

"Tadi gue pikir tutup bioskopnya, trus gue tanya mbak-mbak di situ katanya buka jam 1 siang," Oki memberikan informasi terkini tentang kegiatan wisata ria hari ini. Aku memutuskan untuk berkeliling pasar senen untuk menghabiskan satu setengah jam waktu, menikmati lebih detail kawasan yang sering sekali mengalami kebakaran ini.

Mulia Agung Theater

Ketika kembali ke titik point pertemuan, di sana sudah banyak orang berkumpul yang juga punya niatan ikut project siang ini. Rata-rata mereka memiliki alasan sama, penasaran dan sungkan untuk pergi ke sana sendirian. Setelah semuanya berkumpul, kami berangkat menuju gedung bioskop yang konon katanya bangunan itu sudah ada sejak tahun 1920-an, katanya sih.

Mulia Agung Theater dulunya bernama Grand Theater. Pergantian nama itu terjadi saat era kepemimpinan Soeharto, yang melarang menggunakan nama asing untuk toko maupun nama sebuah gedung. 

Memasuki gerbang, rata-rata yang kami temui di sekitaran gedung itu adalah orang-orang yang sudah cukup berumur. Seorang wanita tengah baya yang duduk di salah satu sudut, berkata pada kami kalau lobi bioskop ada di lantai 2. Kedatangan kami jadi seperti sebuah inspeksi dadakan, orang-orang yang berada di dalam gedung bioskop itu terlihat kaget dengan kedatangan kami yang bergerombol dan tiba-tiba.
"Wah, dari mana neh?"
"Mahasiswa ya?"
"Eh itu jangan foto-foto!" Kata seorang lelaki tengah baya yang sedang duduk di tangga yang menuju loket bioskop.
"Bukan apa-apa, pokoknya jangan foto-foto" seorang wanita juga ikutan melarang kami untuk mengambil gambar.

Ruangan lobi bioskop berada di lantai 2, suasana begitu remang dan cukup pengap, asap rokok bertebar tipis di penjuru ruangan lobi. Dua orang lelaki paruh baya duduk di salah satu bangku di sudut gelap ruang lobi, salah satu dari mereka mengenakan baju yang lucu dengan topi berwarna kuning. Ada lagi yang sibuk menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menyembulkan asap tebal yang membuat wajahnya sama sekali tidak terlihat. Tepat di depan sebuah ruang studio, seorang wanita berjualan makanan dan minuman. Tentu saja kita tidak bisa mendapatkan popcorn di sini, yang ia jual beragam snack-snack murah dan minuman-minuman sachet yang biasa dijual abang-abang starling di taman-taman kota. Di tembok-tembok lobi terpampang poster-poster film sebisanya. Lalu pada papan info tertempel juga poster film hong kong yang kupikir akan menjadi film yang akan diputar siang ini. 

"Lho katanya ada pemutaran jam satu siang?" Tiba-tiba aku mendengar perdebatan di loket pembelian tiket.
"Tadi ibu-ibu yang di bawah bilang, bukanya jam satu dan ada pemutaran jam satu"
"Makanya kami datang jam satu"
"Lho, itu kan ibu-ibu yang dibawah yang ngomong. Penjaganya kan saya, saya yang memutuskan"
"Pemutaran jam 1 dibatalkan,"
"Terus ada lagi pemutaran jam berapa, mbak?"
"Nanti jam tiga!" jawab wanita penjaga loket itu ketus sembari menutup gorden loket itu dengan kasar.

Aku jadi bertanya-tanya apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti itu. Tentunya ada sesuatu yang mengusik wanita itu, dan kalau dilihat gerak-geriknya, sepertinya orang-orang di sini takut dengan kehadiran kami. Mungkin mereka mengira salah satu dari kami adalah wartawan, dan tentu mereka tidak mau kegiatan mereka di sini akan ter-ekspose.

Walau cukup kecewa, tapi rata-rata dari kami akhirnya memutuskan untuk menunggu, beberapa ada yang memutuskan pergi karena ada rencana lain. Aku memutuskan untuk menunggu, sambil menikmati suasana suram bioskop ini.

Grand Theater


"Yak, sambil menunggu bisa jajan-jajan dulu disini," kata Oki. Tak lama kemudian dia mengajakku berkeliling. Dulu di gedung ini terdapat dua ruangan yang digunakan untuk pemutaran filmnya, yang satu di lobi lantai dua tadi, yang satu lagi berada di lantai satu. Aku dan oki berjalan menuju loket yang berada di lantai satu, mencari kemungkinan agar bisa menonton lebih cepat. Seorang wanita muncul dari salah satu ruangan, menjelaskan bahwa loket itu sudah tidak digunakan lagi, jadi hanya tinggal studio yang di lantai dua yang digunakan.
"Lantai satu sekarang buat parkir mobil bos-bos" kata salah satu wanita yang duduk di dekat pagar gedung.
"Gedung lantai satu udah rusak, gak dipakai lagi. Yang masih dipakai lantai 2 situ"
"Kalau pemilik gedung ini dimana ya, Bu?"
"Hmmm, coba masnya cari di lantai 2 saja," akhirnya kami menyerah, lalu kembali ke lobi lantai 2. 

Entah kenapa dan bagaimana, ketika kembali ke lobi, ternyata wanita penjaga loket tadi berubah pikiran. Akhirnya loket kembali dibuka, lalu kami bergantian membeli tiket seharga Rp.10.000. Tiket bioskop itu berupa kertas tipis panjang, seperti struk belanja di minimarket. Setelah semuanya membeli tiket, kami dipersilahkan masuk ke dalam studio pemutaran film.

Besar ruangan studio itu tidak jauh berbeda dengan studio-studio bioskop kebanyakan. Ketika masuk, suasana yang lebih suram hinggap, sekonyong-konyong kami disambut dengan bau ruangan yang tidak sedap menyengat hidungku. Aku memilih kursi yang paling menyenangkan, kapan lagi aku bisa memilih kursi sesukaku di bioskop, pikirku. Tidak ada yang menonton selain kami, kursi-kursi bioskop terbuat dari kayu dengan bantalan busa yang cukup tebal dibalut kulit buatan yang sudah rombeng. Kau akan berpikir macam-macam ketika melihat keadaannya. Ketika duduk, rasanya seluruh tubuh mulai tersugesti gatal-gatal. Salah seorang teman sudah mempersiapkan kondisi tersebut dengan membawa kain, kemudian menyemprotkan parfum ke sekitar. Yah, setidaknya bisa sedikit nyaman pikirnya. Oh iya, di bioskop ini kamu bisa menikmati film sambil makan. Jangankan makan, berbuat yang tidak senonoh pun, kamu akan dibiarkan saja.

Lampu ruangan tiba-tiba dimatikan, tanda film akan segera mulai. Tapi ruangan itu tidak benar-benar gelap. Aku melihat cahaya masuk dari salah satu dinding studio yang sudah rusak, membuat proyeksi film yang diputar tidak terlalu jelas. Butuh konsentrasi ekstra untuk menikmati film yang diputar, suara mesin proyeksi juga lebih keras dari pada suara yang keluar dari film itu sendiri. Jika ingin mencoba nonton di sini, jangan lupa membawa kipas, keringat mengucur perlahan, karena memang tidak ada pendingin ruangan, kipas angin pun tak ada.

Film yang diputar siang itu ternyata adalah film indonesia berjudul "Akibat Pergaulan Bebas 2 episode film porno" mengisahkan seorang artis film yang suka main perempuan dan suka merekam adegan-adegan ketika ia bercinta dengan artis-artis. Ending cerita si aktor bertaubat ketika video-video pornonya tersebar ke publik dan menghancurkan kariernya sebagai seorang artis. Hari ini, di sini untuk pertama kalinya aku menonton film esek-esek lokal kelas dua dari awal sampai selesai, tentunya dibumbui berbagai komentar dan banyolan kawan-kawan lain yang menonton. 

Bioskop Senen

Akibat Pergaulan Bebas 2


Setelah sekitar satu jam film berakhir juga. Ada sesuatu yang yang sebenarnya kutunggu dalam project kali ini. Aku mengharapkan kejadian-kejadian nakal yang sering diceritakan dan kubaca disitus-situs terjadi juga siang itu. Para wanita yang menawarkan diri untuk menemani atau pijat, 'kegiatan lain' yang sering terjadi di saat pemutaran film, atau suara-suara nakal berseliweran yang akan memacu adrenalin detak jantungmu. Aku tidak menemukannya siang itu. Mungkin karena terlalu pagi, atau mungkin karena jumlah kami terlalu banyak, atau karena kami terlalu bergerombol sehingga orang-orang itu merasa bingung.

Bioskop tua ini sudah ditinggalkan penontonnya, namun sampai sekarang Mulia Agung Theater masih menjalani fungsinya menghibur masyarakat, walau hanya untuk segelintir masyarakat, tapi bangunan ini sepertinya akan terus berjalan dengan caranya sendiri.

No comments:

Post a Comment