Thursday, January 12, 2017

Mesty Ariotedjo

“Dari SD aku sering ngerasain di-bully
“Kadang gak tau alasannya apa, tapi orang-orang itu suka banget nge-bully
“Dibentak senior gegara nge-highlite rambut warna merah”
“Waktu smp pernah punya berat badan 70Kg dibilang raksasa”
“Trus misal ada satu orang gak suka sama aku, trus temen-temennya ikutan gak suka”


Mesty Ariotedjo

“Tapi dari situ buat jadi motivasi aja, sih. Waktu itu pun di kelas bisa ranking bagus, eh masih ada juga yang gak suka”
“Kayak lagunya Sherina?”
“Dia pikir…dia yang paling pintar”
“Nah itu tuh aku kayak yang di lagu itu”
“Dari pengalaman-pengalaman masa kecilku itu aku jadi mikir dan sadar bahwa ga mungkin kita menginginkan semua orang bisa suka sama kita”
“Jadi santai saja ya”
“Disyukuri saja apa yang kita punya”

Kami duduk di salah satu sudut panggung teater terbuka Taman Ismail Marzuki. Mesty mengenakan jaket perpaduan biru tua dan cokelat. Rambut gelombangnya dibiarkan jatuh indah di sebelah kiri lehernya yang tak terlalu jenjang. Aku melihat lekukan di pipi kirinya terbentuk ketika ia tersenyum, wajahnya yang segar terbias cahaya matahari sore yang hangat.  

Panggung Teater Terbuka TIM tidak terlalu besar, ada beberapa anak kecil sedang memainkan bola sepak, di salah satu sudut. Di bawah tangga gedung Teater Kecil, ada sekelompok orang sedang latihan menari. Mungkin kontemporer, mungkin tradisional, aku bisa melihat ekspresi mereka menikmati tiap gerakan yang kadang pelan kadang berputar cepat.

“Kamu pernah gak sih merasa menyesal?” Tiba-tiba Mesty bertanya. Aku agak tergelitik dengan suara perempuan yang sedikit cadel ini.
“Kayak, duh kenapa dulu main-main terus ya? kenapa dulu gak serius belajar ini-itu?”
Aku berpikir lalu mengangguk.
“Yah, banyak juga yang pernah kusesali” jawabku
“Nah, aku jadi berpikir, ada baiknya kalau anak kecil itu emang harus benar-benar dibimbing, atau bahkan sedikit dipaksakan untuk bisa melakukan sesuatu”
“Tapi tentunya dengan porsi yang baik dan sesuai dengan potensi yang sudah terlihat”
“Iya, bener, bener katamu, Mes”
“Aku, kalau dulu gak dipaksa ibuku untuk ikutan lomba gambar, mungkin sekarang aku gak bisa gambar”
“Nah aku ya gitu”
“Dulu waktu kecil itu aku sering bolos les. Kalau guru lesnya dateng suka ngunci pintu kamar, pura-pura tidur atau sakit, atau kalau pulang sekolah dan tau jamnya les, suka kabur ke supermarket, terus telepon kerumah nanya gurunya udah pulang atau belum, baru deh pulang ke rumah”
“Hahaha, kayaknya semua anak-anak generasi kita pernah ngalamin itu kali ya”
“Hahaha”
“Eh tapi aku pernah bikin lagu, judulnya Lukis Indah Mimpi”
“Ah iya?”
“Aku tuh concern banget dengan anak dan pendidikan”
“Lukis Indah mimpi itu bicara tentang itu”
“Buatku saat kecil itu adalah saat krusial saat kamu menentukan hidupmu”
“Ketika dewasa kita sudah tidak banyak lagi yang bisa kita pelajari, dan saat kita kecil itulah sebaiknya kita bisa belajar banyak hal sampai akhirnya nanti jadi bekal kita menentukan, kita akan jadi seperti apa”
“Belajar tentang kebaikan”
Aku mengangguk lagi. Sore belum terlalu lama bertengger di langit. Lambat laun suasana di sekitaran panggung terbuka menjadi lebih ramai, satu persatu orang-orang berdatangan untuk bermain bola. Seorang anak menaruh sandalnya untuk dijadikan gawang. Aku mengajak Mesti berpindah tempat ke sebuah panggung di bawah pohon yang sangat besar. 

hands

“Kapan sih Mes kamu mulai belajar musik?”
“Jadi di rumah itu emang udah ada piano jadi waktu kecil suka main-main piano”
“Waktu umur 4 tahun gak sengaja diketemukan oleh anak dari teman ibuku. Dia itu ngajar piano, nah dari situ aku belajar piano secara serius sampai SMP."
"Aku anaknya tuh cukup bosenan. Abis piano aku coba-coba biola bosan, terus pernah dikasih hadiah sama ayahku, flute, itu aku lumayan suka maininnya”
“Sampai waktu aku kuliah ada yang nawarin belajar harpa, baru deh aku belajar harpa“
“Waktu itu dites dulu, diliat jarinya, terus masuk“
“Kenapa memang diliat jari-jarinya?”
“Gak tahu kenapa, tapi kayaknya kalau jari-jari kita panjang gitu akan lebih mudah beradaptasi"
“Terus setelah 6 bulan belajar, disarankan untuk perform.”
“Dari satu perform ke perform yang lain aku jadi lebih menekuni harpa lebih dalam.”
“Karena jam terbang di panggung, aku yang tadinya bosenan jadi giat berlatih, karena kan malu kalo mainnya nanti gak bagus”
“Hmmm bener juga, aku ya bulak balik bikin band, latihan kalo ada jadwal manggung doang, kalo gak ada ya gak pernah ke studio”
“Hehehe”
"Waktu SD aku pernah melihat Twilight Orchestra di sekolah. Dari situ aku bercita-cita bisa menjadi bagian mereka.” 
“Dan mimpi itu benar-benar terwujud!”
“Akhirnya aku bisa bermain bersama mas Adi MS. Dan pertama kali main langsung kedapetan main solo”
“Waktu itu memainkan Waltz of The Flowers karya Tchaikovsky"

“Apa sih musik buatmu?”
“Hmmm Musik buatku…”
“Musik buatku waktu dimana aku punya waktu untuk berkaca.”
“Ketika bermusik aku menyalurkan emosi. I feel better ketika bermusik dan musik melatihku lebih berkonsentrasi.”
“Lalu kenapa Musik klasik?”
“Hmmm, pada dasarnya aku mendengarkan segala macam jenis musik”
“Waktu SMA aku pernah ngeband, di situ aku main keyboard”
“Bawain lagunya Audi”
“Hehehehe”
“Tapi aku itu anaknya cenderung teratur. Sangat sistematis. Mungkin dari situlah kecocokanku terhadap musik klasik.” 
“Di musik klasik kan kita membaca partitur, mengikuti temponya, sangat sistematis"
“Aku juga suka keteraturan, aku suka proses yang terlihat"
“Musik klasik seperti sebuah ruang buatku”
“Waktu itu pernah nyoba main jazz, tapi ternyata tidak terlalu cocok buatku”
"Temponya gak dapet, feel-nya berbeda sekali"
“Hmmm begitu”
“Lalu, kamu kan udah banyak pelajari alat musik, apa rasanya?
“Hmmm aku mendapatkan pengalaman sendiri-sendiri dari masing-masing alat musik itu. Flute misal, ambience-nya lebih tenang kayak meditasi, main flute seperti terapi buatku”
“Kalau Harpa itu sanggat sensitif, waktu memainkan harpa kita butuh melatih emosi.” 
“Akan kelihatan sekali jika bermain harpa dalam keadaan emosi yang tidak stabil"
“Harpa juga mengajarkan saya agar lebih peka"
“Kalau piano lebih santai"

“Oh iya, kalau gak salah kamu jadi Ambassador Musik Klasik Indonesia ya, bener ga sih?
“Ah, Hahaha iya” jawabnya sedikit tersipu malu, terlihat wajahnya memerah.
“Aku sempet mikir waktu itu, apa yang harus dilakukan seorang Ambassador Musik Klasik Indonesia?”
“Dari pada jadi ambassador kerjaannya hanya ngomong ha ha hi hi, atau sekedar memperkenalkan apa itu musik klasik, aku berinisiatif mendirikan sekolah gratis”
“Lalu jadilah sekolah musik gratis itu“
“Namanya Yayasan Musik Sastra Indonesia”
“Kenapa namanya pakai sastra?”
“Apakah mempelajari sastra juga? atau karya sastra yang dimusikkan?”
“Bukan, Musik Sastra di sini adalah musik yang ditulis”
“Kalau klasik kan kita nulis partiturnya, jadi mereka nulis not-not baloknya”
“Hoooooo yayaya”
“Sekolahnya bukan untuk membentuk anak-anak itu jadi musisi, tapi selain lebih mencerdaskan anak-anak juga melatih kedisiplinan juga meningkatkan intelektualitas anak-anak itu lewat media musik"
“Siapa bisa sekolah di situ?”
“Awalnya langsung terjun langsung ke sekolah-sekolah. Lalu dicari anak-anak umur antara 8-11 tahun yang kurang mampu yang mau sekolah musik.”
“Senang rasanya sekarang mereka udah bisa memainkan lagu-lagunya Bach, Chopin”
“Wahh, kapan-kapan mau nonton deh”
“Iya, datang aja kalau ada pementasan mereka”
“Ah siap”

talks

“Kamu suka baca, Mes?”
“Aku suka Haruki Murakami”
“Weleh”
“Hehehe, aku gak tahu kenapa, kayak pemikiran kita sama”
Very complicated, very Dark and very amazing
“Ohh, Mesty itu complicated
“Hahaha, aku melankolis”
“Hahaha”
“Penasaran, apasih impian terbesar seorang Mesty?”
“World Peace”
“Wih!”
“Semua orang baik, semua orang bahagia.”
“Dulu aku berpikir kita harus bisa baik untuk orang lain, kita harus berbuat baik dengan orang lain, tapi bagaimana jika kita sendiri-sendiri bisa membahagiakan dirinya sendiri? jadi setiap orang happy
“Kamu punya nilai-nilai baik dalam dirimu sendiri, aku punya, mereka punya. Do good aja sih, yang penting tidak merugikan orang lain”
“Kalau udah begitu, semua orang bahagia, it’s a blessing
“Dan”
“Dan?”
“Aku ingin sekali membenahi sistem kesehatan di indonesia jadi lebih baik. Sarana kesehatan di Indonesia itu sangatlah tidak merata. Memang sih bentuk geografis Indonesia yang kepulauan membuat kesulitan untuk penyediaan fasilitas-fasilitas kesehatan untuk daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau. Kita yang ada di pusat pun terkadang kesulitan, karena biaya untuk ke sana juga tidaklah murah. Hal ini jadi PR besar bersama agar kedepannya lebih baik.”
“Aku ingin sekali membenahi hal-hal itu”
“Tapi apa yang kamu lakukan lewat Wecare.id itu sangat-sangat terpuji, menjadi harapan bagi orang-orang yang membutuhkan”
“Alhamdulillah, perlahan, tapi melakukan sesuatu”
“Dan banyak yang membantu di sana”

“Mes, gimana caramu mengatasi keterpurukan?”
“Hmmm”
“Namanya hidup kan emang salalu ada up and down
“Yang bikin hidup kembali itu….”
At the end, kita harus tau apa sih yang kita kejar dalam hidup”
“Dengan kita memiliki cita-cita yang jelas, kita akan memiliki tujuan hidup”
“Jadi buatku aku akan selalu ingat apa yang aku kejar untuk terus maju ke depan”

“Ada gak sih satu hal yang ingin kamu pelajari di luar musik dan dunia kedokteran?”
“Hmmmmmmm, aku mau belajar Karate, deh”
Lalu seorang laki-laki menendang kencang kearah gawang yang terbuat dari sandal jepit. Lelaki itu berlari merayakan golnya di tengah senja yang mulai merona.

- 2016


1 comment:

  1. mas, rajin-rajin nulis dong, Menginspirasi sekali soalnya :)

    ReplyDelete