Friday, February 7, 2014


Sekali lagi, jikalau anda mempunyai planing naik gunung atau ke tempat-tempat yang menyuguhkan keajaiban-keajaiban alam, sebaiknya mencari informasi sebanyak mungkin sebelum berangkat. Dari informasi tersebut anda akan terbantu sekali dalam mengatur perjalanan anda. Aku adalah salah satu yang suka terlalu spontan, tanpa persiapan untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi. Seperti sekarang, aku berada kaki gunung Ijen dalam waktu yang kupikir tidak tepat. Pukul 7 pagi, terlalu siang untuk berada di sini. 

Salah satu hal yang dicari di Kawah Ijen adalah Blue Fire, Api berwarna biru yang terbentuk dari semburat belerang cair dari dalam kawah Ijen. Fenomena ini cuma bisa dilihat sebelum matahari terbit. Jadi, untuk menyaksikannya kita hari mulai mendaki pada pukul 01.00 dari pos Paltuding. Sebenarnya aku bisa saja menginap jika benar-benar ingin menyaksikan fenomena tersebut, tapi aku urungkan niat tersebut. Aku masih berpikir akan kembali lagi ke tempat ini suatu saat. Setidaknya, mendaki kali ini tidak perlu terburu-buru, karena tak ada yang harus dikejar. Santai saja. 

Oh iya, untuk mencapai ke sini bisa melalui Terminal Bondowoso lalu naik angkutan umum ke arah Kecamatan Sempol berupa kendaraan mini bus (ELF). Dari Sempol, naik ojek sampai Pos Paltuding.



Jalan mendaki Kawah Ijen cukup bagus. Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan para warga yang tinggal di lereng-lereng. Mereka adalah penambang belerang. Mau diapakan belerang-belerang itu? 
"Berapa kilo beratnya, pak?" aku bertanya pada seorang bapak yang sedang duduk beristirahat.
"Yang ini 70 kilo mas"
"Lalu ini mau dibawa kemana, pak?" 
"Ini nanti diantarkan ke pabrik, mau diolah jadi obat atau kosmetik." katanya lagi.
"Ini mas, ada belerang yang udah dibentuk"
"20 ribu aja"
"Hehehe, lain kali ya pak" aku melihat-lihat belerang-belerang yang sudah berbentuk bunga dan patung budha.

"Mas, foto mas" Seorang bapak tiba-tiba saja berkata padaku
"Foto?" Bapak itu ternyata mengajakku untuk berfoto bersama
"Oh, ayo pak kita foto" tentu saja aku meng-iyakan
"Terima kasih, pak"
"Seikhlasnya aja mas" kemudian ia menodongkan tangannya padaku.

Perjalanan menuju puncak cukup melelahkan. 
"Tadi dia minta apa, Mas?" seorang bapak yang lain bertanya padaku. Kami berjalan bersama menuju puncak.
"Oh, gak papa pak. Lumayan buat nambah-nambah penghasial dia"
"Bukan begitu mas, kalau menurut saya, kalau bapak itu yang minta difoto lebih baik jangan diberi uang. Nanti kebiasaan mas, bikin malu warga sini"
"Kecuali kalau masnya yang minta" 
"hmmm ya ya ya" 
"ngomong-ngomong, ini bapak bulak balik ke kawah trus ke pos udah berapa kali?" tanyaku 
"Ini yang kedua mas"
"Memang dijatah cuma dua kali saja sehari"
"Ohhhh"
"Kalau boleh tahu, sekali angkut itu dibayar berapa pak?"
"Yah, lumayan mas"

Berkali-kali aku beristirahat untuk sekedar bernafas panjang. Walaupun keadaan jalan cukup bagus, namun jalan cukup menukik. Tak terasa beberapa jam aku sampai di lokasi Pos Bundar, sekitar 1 kilo dari puncak kawah. Aku merebahkan diri di sebuah warung kecil. Area Pos Bundar yang dibangun pada masa kolonial itu kondisinya sudah begitu memprihatinkan. Salah seorang teman pernah bercerita bahwa dulu ia menggunakan pos ini untuk menginap, sebelum mereka mendaki ketika subuh guna melihat Blue Fire

Pos yang berbentuk setengah lingkaran itu mempunyai bentuk atap yang unik. Terdapat lengkung untuk menampung air hujan. Air hujan yang ditampung akan digunakan untuk mengairi daerah sekitar itu. Namun sayang sekali, pos tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi. Dan, mungkin salah satu penyebab sulitnya mencari air bersih adalah tidak berfungsinya bangunan ini. Hal ini membuatku cukup kerepotan, sebab tiba-tiba saja perut saya melilit. Harus buang air besar.

"itu lho mas, di belakang ada WC" kata salah satu warga.
tentu saja tanpa basa-basi aku langsung kesana. Namun, sesampainya di sana, perut yang melilit tiba-tiba normal karena melihat kondisi WC-nya.
hahaha

Ah, ketika sedang berkeliling di sekitar pos bundar, Aku tiba-tiba dikagetkan dengan suara grasak-grusuk. Setelah kuperhatikan baik-baik, terdapat seekor lutung hitam sedang bergelayutan di salah satu pohon, kemudian aku melihat lagi beberapa lutung yang melayang-layang di sudut lain. Kejadian itu begitu cepat, aku hanya sempat menyaksikannya saja. Walau kami tidak bertatapan mata, aku tahu lutung-lutung itu malu melihatku.
hahaha


Sambil mengurut kecil kakiku, aku teringat pernah mendengar cerita, beberapa waktu lalu seorang pendaki akhirnya meninggal, diduga ia mengalami kelelahan dan mengalami sakit dada. Ia terpeleset saat hendak turun gunung, pingsan kemudian meninggal saat perjalanan. Kejadian ini menambah daftar panjang orang-orang yang meninggal di gunung. Itulah pentingnya mencari informasi dan persiapan matang sebelum melakukan penanjakan.  

Jarak dari Pos Bundar ke puncak tidaklah begitu jauh. Sesampai di puncak, aroma bau belerang mulai tercium, perlahan sampai akhirnya benar-benar menyengat. Aku dihadapkan oleh sebuah pemandangan yang benar-benar luar biasa. Dari data yang pernah kubaca di internet, Kawah Ijen merupakan danau sulfur yang memiliki luas sekitar 54 hektar, dengan ketinggian permukaan kawah sekitar 2.148 m di bawah permukaan laut, bibir kawahnya memiliki ketinggian 238 m di atas permukaan laut dan memiliki kedalaman 200 m. Danau vulkanik ini mengandung sekitar 36.000.000m air asam yang sangat panas. Kawah Ijen merupakan pusat danau kawah terbesar di dunia, yang bisa memproduksi 36 juta meter kubik belerang dan hidrogen klorida dengan luas sekitar 5.466 hektar. Kawah yang berbahaya ini memiliki keindahan yang sangat luar biasa dengan danau belerang berwarna hijau toska dengan sentuhan dramatis dan elok. 

"Pak, saya boleh ikut turun?" Aku bertanya kepada salah satu penambang yang hendak turun ke dalam kawah.
"Ya boleh, tapi harus bareng sama saya. Berbahaya mas kalau sendirian"
"Baik, pak" 
Siang itu aku tidak beruntung, uap belerang tidak dapat ditebak dan menguap sangat tebal. Aku urungkan niatku untuk turun, karena belum terbiasa dengan bau belarang yang begitu menyengat.

Saya memilih untuk menikmatinya sambil duduk di salah satu sudut kawah. Melemparkan pandangan mata saya ke seluruh penjuru. Saya kembali teringat cerita teman yang pernah mengunjungi tempat ini, kita sebenarnya bisa melihat kawah secara keseluruh dari gunung Merapi Banyuwangi yang terletak tepat di sebelah kawah. Dan jalan menuju puncak Gunung Merapi Banyuwangi bisa diakses dengan menyelusuri jalan setapak di sebelah utara Kawah Ijen. Namun, jalan itu tidak dibuka untuk umum, sebab begitu rawan dan menyesatkan.
Tidak terlalu lama aku berada di sana. Semakin lama semakin tebal saja kabut belerang itu. Setelah cukup puas, aku memutuskan kembali.
Kau tahu, awalnya aku berjalan, menuruni gunung ini. Tapi kemudian aku berlari. benar-benar berlari. kau tahu kenapa?
Hasrat buang air besar muncul tiba-tiba. 


- 2014


No comments:

Post a Comment