Wednesday, November 20, 2013


Apa lagi yang harus diceritakan tentang gunung ini? Gunung yang dijuluki "The Famous Sunrise" ini begitu spektakuler. Sudah banyak tulisan-tulisan para petualang bercerita membahas gunung yang terletak di perbatasan 4 wilayah pemerintahan yaitu Kapupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang.



Sebetulnya aku telah menelan ludahku sendiri. Beberapa waktu lalu aku pernah berkata pada diriku sendiri bahwa mungkin aku tidak akan datang ke gunung ini dalam waktu dekat. Karena yah, semua orang berbondong-bondong datang ke tempat ini. Namun, di sinilah aku berada sekarang. Aku mendapat kesempatan untuk sekedar trip di tempat ini bersama dengan beberapa wartawan-wartawan dari media lain.

Aku memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan yang lain. berjalan sendiri menikmati suasana padang pasir hitam di bawah kaki gunung. Ketika berada di sekitaran pura, aku bertemu dengan banyak masyarakat Tengger yang sedang mengistirahatkan kuda-kudanya. 

Jaid, dari mana asal-muasal Suku Tengger berasal? Di situ aku mencoba bertanya pada salah satu warga. Nama Tengger merupakan gabungan dari dua kata yaitu Teng dan Ger. Keduanya merupakan akhiran kata dari dua nama yaitu  Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan legenda dan diyakini bahwa mereka adalah keturunan dari sosok kedua nama tersebut. Roro Anteng seorang puteri Raja Majapahit sedang Joko Seger merupakan putera seorang Brahmana. Menurut cerita, kedua orang itu membangun pemukiman dan memerintah di kawasan yang kemudian dinamai sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger yang berarti “Penguasa Tengger yang Budiman”


Masyarakat tengger di Gunung Bromo rutin mengadakan upacara adat. Yang terbesar adalah Hari Raya Yadnya Kasada yang dilakukan setiap tahun sekali (penanggalan agama Hindu Tengger) yaitu ketika sudah memasuki bulan Kasada dan tepatnya pada hari ke-14, mungkin sekitar bulan Juli. Perayaan hari besar ini bukan hanya dikunjungi oleh umat Hindu Tengger saja, melainkan juga umat Hindu dari Bali yang merasa sebagai keturunan kerajaan Majapahit. 

Selain itu juga ada Hari Raya Karo, Unan-unan, juga ritual adat saat kelahiran meliputi Upacara Sayut, Cuplak Super, Tugel Kuncung. Lalu upacara Walagara yang dilakukan ketika ada yang menikah, kemudian ada pula upacara kematian dan beberapa upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, dan gejala alam seperti Leliwet dan Barikan.

Aku tidak sempat bertanya lagi dengan detail pada mereka kapan upacara-upacara itu akan dilangsungkan. Seorang panitia rombongan mengajakku untuk segera berkumpul dengan yang lain. Tapi, jika suatu saat aku ke tempat ini lagi, sepertinya aku akan mencari informasi terlebih dahulu kapan upacara-upacara adat itu dilaksanakan. 




















No comments:

Post a Comment